Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Catatan

Gelisah di Tanah Sendiri: Suara Warga Sepaku di Tengah Proyek IKN

1758
×

Gelisah di Tanah Sendiri: Suara Warga Sepaku di Tengah Proyek IKN

Sebarkan artikel ini
Amrizal (Foto : Redaksi)

Oleh: Amrizal (Akademisi/Praktisi Hukum)

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), telah menjadi harapan besar akan terwujudnya pusat pemerintahan yang modern dan efisien. Namun, di balik kemegahan visi nasional tersebut, terselip kegelisahan masyarakat lokal yang semakin hari makin terasa nyata.

Example 300x600

Pemerintah Kabupaten PPU melalui surat resmi kepada Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) telah mengungkap berbagai persoalan mendesak. Salah satu yang paling krusial adalah masalah pelayanan administrasi pertanahan. Kini, masyarakat Sepaku menghadapi kendala serius hanya untuk mengurus hak atas tanah yang sebelumnya bisa diproses secara sederhana. Bahkan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak serta-merta diakui sebelum mendapat restu dari OIKN. Proses menjadi berbelit, lamban, dan cenderung tak berpihak kepada masyarakat kecil.

Ironisnya, pembangunan IKN yang digadang sebagai representasi pemerintahan adaptif dan modern justru menyajikan birokrasi yang semakin panjang. Kewajiban surat-menyurat yang tak kunjung dibalas, keharusan izin dari lembaga baru, dan ketiadaan jalur yang jelas membuat masyarakat kehilangan arah dan kepercayaan.

Di sisi lain, pelaku usaha di wilayah Sepaku juga tak kalah resah. Sistem OSS OIKN yang belum sempurna memaksa mereka tetap bergantung pada OSS Pemkab PPU. Alhasil, tumpang tindih sistem perizinan terjadi. Banyak pelaku UMKM yang hanya ingin menjalankan usaha kecil-kecilan, kini harus berhadapan dengan kerumitan teknis yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

Perizinan tanah dan usaha kini bagai benang kusut, terlebih ketika peruntukan tanah dianggap tidak sesuai dengan RDTR yang disusun tanpa melibatkan warga. Masyarakat yang telah menempati lahan selama puluhan tahun, justru dihadapkan pada kemungkinan kehilangan hak atas tanahnya demi pengembangan ruang hijau atau kawasan pemakaman versi otorita.

Masalah Tata Ruang dan Pemanfaatan Lahan

Penetapan pola ruang di wilayah IKN juga menimbulkan kekhawatiran baru. OIKN dinilai menetapkan tata ruang secara eksklusif, tanpa melibatkan masyarakat yang terdampak langsung. Ini termasuk penetapan wilayah untuk:

  • Pemakaman
  • Hutan kota
  • Ruang terbuka hijau

Kebijakan sepihak ini berisiko besar mengancam hak atas tanah dan sumber penghidupan masyarakat lokal. Tanpa pelibatan publik dan tanpa pendekatan budaya lokal, kebijakan ruang justru bisa menjadi pemicu konflik sosial.

Oleh sebab itu, Pemkab PPU mendesak revisi RTR dan RDTR IKN agar:

  • Melibatkan masyarakat terdampak secara aktif
  • Memperhatikan nilai budaya dan adat lokal
  • Disusun bersama dengan Pemkab PPU sebagai pemangku kepentingan utama di daerah

Dampak Terhadap Cakupan Wilayah dan Struktur Pemerintahan

Persoalan lain yang tak kalah serius adalah penyusutan wilayah administratif Kecamatan Sepaku akibat penetapan kawasan IKN berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara. Dalam ketentuan tersebut, cakupan wilayah Kabupaten PPU berubah secara signifikan, di mana:

Kecamatan Sepaku yang semula terdiri dari 15 wilayah (11 desa dan 4 kelurahan), Kini hanya tersisa 5 wilayah (2 desa dan 3 kelurahan), Karena 10 wilayah lainnya (9 desa dan 1 kelurahan) telah masuk sepenuhnya ke dalam deliniasi IKN.

Kondisi ini membuat Kecamatan Sepaku tidak lagi memenuhi syarat minimal sebagai suatu kecamatan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya itu, eksistensi Kabupaten PPU sebagai daerah otonom pun ikut terancam, mengingat salah satu syarat dasar keberadaan kabupaten adalah memiliki minimal 5 kecamatan.

Sebagai solusi, Pemkab PPU mengusulkan pemekaran wilayah dan mengajukan skema “Kepentingan Strategis Nasional” agar pembentukan kecamatan baru bisa dipercepat. Usulan ini merupakan langkah antisipatif agar pembangunan IKN tidak menghapus eksistensi pemerintahan daerah yang sudah lebih dahulu ada.

Sudah saatnya pemerintah pusat melalui OIKN menanggapi serius desakan Pemkab PPU. Pembangunan yang besar tidak boleh mengorbankan hak-hak sipil masyarakat yang lebih dahulu tinggal dan hidup di atas tanah yang kini masuk dalam kawasan IKN.

IKN bukan sekadar proyek fisik — ia harus menjadi lambang keadilan ruang dan sosial. Tanpa keadilan tersebut, semua cita-cita akan runtuh di atas kegelisahan dan rasa kehilangan rakyat yang tak pernah diajak bicara. (ede)

Aksi warga Pati di alun-alun
Catatan

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa Pati mungkin saja menjadi…