Jakarta — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Anti Korupsi Kalimantan Timur (AMAK Kaltim) menggelar aksi damai di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI di Jakarta. Aksi ini menjadi bentuk protes keras terhadap indikasi kuat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang diduga mengakar dalam pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur.
Koordinator aksi, Faisal Hidayat, secara gamblang menyebut bahwa Kaltim kini tengah berada dalam ancaman serius KKN karena kepemimpinan daerah dikuasai oleh satu lingkaran keluarga: sang adik menjabat sebagai Gubernur, sementara sang kakak sebagai Ketua DPRD Provinsi.
“Kami melihat ada upaya membangun dinasti politik dan bisnis yang sangat berbahaya. Ketika dua pucuk kekuasaan daerah berada dalam satu keluarga, potensi penyalahgunaan kekuasaan menjadi sangat tinggi,” tegas Faisal yang juga mahasiswa Hukum Universitas Mulawarman, melalui rilis kepada media ini.
Lebih jauh, AMAK Kaltim juga mengungkap keberadaan sosok misterius berinisial “H” yang disebut-sebut sebagai ‘operator bayangan’ di balik berbagai proyek strategis Pemprov Kaltim. Sosok ini diduga berperan mengatur dan menekan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) agar menyetor fee dari proyek pengadaan barang dan jasa.
“Kami curiga, H ini bukan hanya jadi pengatur proyek, tapi juga pengumpul upeti. Dia memaksa OPD menyetor persentase tertentu dari setiap kegiatan,” ungkap Faisal dengan nada geram.
Dalam aksinya, AMAK Kaltim secara resmi melaporkan temuan-temuan ini ke KPK dan menuntut lembaga anti rasuah itu segera turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh.
Tak berhenti di situ, mereka juga menyoroti dugaan penyelewengan anggaran Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang diduga mengalir ke Sekretaris Daerah (Sekda) Kaltim. Selain DBON, kegiatan LPTQ juga dinilai perlu diaudit karena dinilai janggal.
“Kami minta KPK segera periksa Sekda Kaltim. Jangan sampai anggaran negara justru masuk ke kantong pribadi,” tambahnya.
AMAK Kaltim juga menyoroti proyek renovasi Gedung DPRD Provinsi Kaltim yang menghabiskan anggaran Rp56 miliar, namun hasilnya dinilai jauh dari layak. Mereka menduga kuat terjadi mark-up dan korupsi dalam pelaksanaannya.
“Gedungnya hanya dicat ulang, banyak bagian masih retak-retak. Apa pantas dana sebesar Rp56 miliar hanya untuk itu? Kami yakin ada permainan dalam proyek ini,” kritik Faisal.
AMAK Kaltim menegaskan bahwa gerakan mereka tidak akan berhenti hanya pada aksi ini. Mereka berkomitmen untuk terus mengawal laporan ini hingga ada tindak lanjut nyata dari KPK.
“KPK harus buktikan bahwa mereka masih bisa dipercaya publik. Jika laporan ini diabaikan, maka kami akan bawa gerakan ini lebih luas. Kaltim bukan ladang bisnis dinasti,” tutupnya. (ek)