Oleh: Amrizal (Praktisi/Akademisi Hukum)
Tanggal 7 Agustus 2025 menjadi hari yang berat bagi seorang nelayan dari Babulu Laut, Penajam Paser Utara. Di ruang sidang, ia mendengarkan pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum: pidana enam bulan penjara. Padahal, aktivitas yang ia lakukan adalah bagian dari upaya mempertahankan hidup – mengelola tambak yang telah menjadi sumber nafkah keluarganya selama bertahun-tahun.
Penulis juga sebagai tim penasihat hukum, menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Namun, rasa pilu dan keprihatinan mendalam tak bisa ditahan, sebab yang menjadi terdakwa adalah warga kecil, nelayan tradisional, yang seharusnya dilindungi dan diberdayakan, bukan dikriminalisasi.
Hukum Tak Selalu Hadir dengan Keadilan
Ada tiga hal penting yang kami harapkan menjadi pertimbangan majelis hakim dalam perkara ini:
- Aspek Keadilan Substantif: Hukum seharusnya tidak hanya tegak secara prosedural, tapi juga adil secara substansi. Mempidanakan nelayan yang hidup dari tambaknya sendiri adalah potret nyata ketimpangan perlakuan hukum yang bisa mencederai rasa keadilan masyarakat.
- Aspek Kemanusiaan: Tuntutan enam bulan penjara mungkin terdengar ringan bagi sebagian orang. Tapi bagi nelayan kecil, itu berarti kehilangan penghasilan, menjauh dari keluarga, dan terjerat stigma sosial sebagai narapidana. Dampaknya bukan hanya pada dirinya, tapi juga pada anak-istri yang bergantung padanya.
- Aspek Sosiologis: Kasus ini memperlihatkan konflik antara hukum positif dan kearifan lokal. Di banyak wilayah pesisir, masyarakat telah lama mengelola tambak secara turun-temurun. Penegakan hukum yang tidak mempertimbangkan konteks ini justru menimbulkan luka sosial yang dalam.
Mengapa Restorative Justice Tidak Ditempuh?
Penulis mempertanyakan mengapa kasus ini tidak diselesaikan melalui mekanisme restorative justice, sebuah pendekatan yang lebih mengedepankan mediasi, pemulihan hubungan sosial, dan solusi damai. Bukankah itu lebih adil bagi semua pihak, tanpa harus menyeret rakyat kecil ke penjara?
Kritik dan Saran: Evaluasi untuk Kepolisian dan Pemerintah Daerah
Kasus ini semestinya menjadi cermin untuk kita semua, khususnya aparat penegak hukum dan Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara:
Untuk Kepolisian:
Terapkan Restorative Justice Secara Konsisten. Kepolisian perlu memiliki kebijakan yang jelas untuk kasus-kasus seperti ini. Bukan semata memproses secara pidana, tapi memediasi dan menyelesaikan secara kekeluargaan.
Tingkatkan Kapasitas dan Sensitivitas Sosial Anggota. Penyidik harus mampu memahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi dari kasus yang ditangani. Tidak semua pelanggaran layak dijawab dengan penjara.
Koordinasi yang Lebih Baik dengan Pemerintah Daerah. Sebelum menetapkan seseorang sebagai tersangka, seharusnya ada komunikasi dengan dinas terkait, seperti Dinas Perikanan atau Kelautan.
Untuk Pemerintah Kabupaten PPU:
Berikan Perlindungan Hukum untuk Nelayan. Pemerintah daerah perlu mengeluarkan kebijakan, surat izin, atau pengakuan wilayah kelola bagi masyarakat pesisir agar aktivitas mereka tidak dianggap ilegal.
Susun Peraturan Daerah yang Berpihak kepada Rakyat. Dalam setiap perumusan Perda, libatkan masyarakat adat, nelayan, dan pelaku lokal sebagai subjek utama.
Aktif dalam Mediasi dan Penyelesaian Sengketa. Pemerintah harus menjadi jembatan yang adil dalam konflik masyarakat dengan pihak luar, bukan sekadar penonton.
Jangan Ada Lagi Nelayan yang Dipenjara karena Mencari Nafkah
Agenda sidang berikutnya adalah pada 12 Agustus 2025, dengan agenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan oleh penasihat hukum terdakwa. Harapan kami, pledoi ini akan membuka mata semua pihak bahwa hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan alat penindas masyarakat kecil.
Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga dan titik tolak perbaikan sistem hukum kita. Karena nelayan bukanlah penjahat. Ia hanya ingin hidup, dari laut dan tambak yang telah diwariskan turun-temurun. (ek)