Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
CatatanPolitik

Abolisi & Amnesti: Pertaruhan Dosa dan Jasa

24
×

Abolisi & Amnesti: Pertaruhan Dosa dan Jasa

Sebarkan artikel ini
Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto
Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa

Bak sebuah kapal, dua nama yang selama ini berada di kutub berbeda politik kini berada dalam satu geladak yang sama: Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Presiden Prabowo Subianto adalah nahkodanya.

Example 300x600

Pengampunan politik-Tom melalui abolisi, Hasto melalui amnesti tak ubahnya sekoci yang diberi penguasa pada dua petarung itu. Dengan kebijakan tersebut maka, lengkaplah drama rekonsiliasi politik nasional dalam babak paling membingungkan.

Di permukaan, ini bisa dipahami sebagai langkah kenegarawanan. Prabowo ingin menutup buku lama yang penuh konflik dan membuka lembaran baru berisi stabilitas dan rekonsiliasi.

Namun politik, seperti sejarah, tak pernah sekadar hitam dan putih. Ia mengandung paradoks, dan keputusan Prabowo ini adalah bukti bahwa ampunan bisa beraroma kemenangan pribadi, tapi menyisakan luka bagi republik.

Tidak ada yang meragukan bahwa Prabowo adalah politikus ulung. Ia bisa merangkul musuh lama, memeluk lawan ideologis, dan mengemasnya dalam narasi kepentingan bangsa.

Tetapi ketika abolisi diberikan kepada Tom Lembong-yang sebelumnya menjadi simbol teknokrasi bersih, namun tersandung kasus impor gula yang penuh tanda tanya-dan Hasto Kristiyanto-simbol perlawanan PDIP terhadap dominasi Prabowoisme-maka jelas, ini bukan semata demi rekonsiliasi. Ini adalah langkah penataan ulang peta kekuasaan.

Langkah ini memang menguntungkan Prabowo secara politik. Ia kini menjadi poros dari segala arah: kanan dan kiri, birokrat dan partai, pengusaha dan aktivis.

Ia seperti matahari yang tak hanya bersinar ke satu penjuru, tapi memanaskan semua sisi, mengikat lawan dan kawan dalam orbit yang sama. Tapi matahari yang terlalu panas juga membakar ladang kepercayaan.

Masalahnya bukan pada bentuk hukumnya. Konstitusi memang memberi hak prerogatif kepada presiden untuk mengeluarkan amnesti dan abolisi.

Tapi masalahnya adalah pesan politik yang disampaikan kepada publik: bahwa hukum bisa ditangguhkan bila tokoh yang bersangkutan punya nilai politik, bahwa keadilan bisa dinegosiasikan demi konsolidasi kekuasaan.

Ini bukan soal Tom atau Hasto secara personal. Ini soal preseden. Bahwa negara, melalui tangan tertingginya, memilih menutup kasus yang belum selesai.

Bahwa penyidikan, dakwaan, dan proses hukum bisa dikalahkan oleh tanda tangan seorang presiden. Maka, publik tak lagi melihat hukum sebagai alat keadilan, tapi sebagai alat akomodasi kekuasaan.

Bagi rakyat, keputusan ini menyakitkan. Sebab publik telah lelah melihat hukum dijadikan mainan elit.

Mereka menunggu penyelesaian kasus, bukan pembatalannya. Mereka menanti kejelasan, bukan penghapusan. Mereka ingin keadilan ditegakkan, bukan disingkirkan demi simbol rekonsiliasi.

Langkah ini memang memberi Prabowo narasi pemimpin besar yang memaafkan. Tapi di balik itu, ia meninggalkan jejak yang getir: bahwa di negeri ini, hanya yang punya nama yang bisa diampuni.

Sementara rakyat kecil tetap dikejar karena mencuri ayam, tetap dipenjara karena status Facebook, tetap dibungkam karena bertanya. Apakah ini bentuk kearifan? Atau justru bentuk sinisme tertinggi terhadap rakyat?

Kita tentu tak menolak rekonsiliasi nasional. Tapi rekonsiliasi harus tumbuh dari kebenaran, dari keadilan yang diselesaikan, bukan dari pengabaian terhadap proses hukum.

Hasto seharusnya membuktikan dirinya di pengadilan. Tom seharusnya menunjukkan bahwa ia tak bersalah melalui jalur hukum. Bukan melalui pengampunan yang justru menimbulkan pertanyaan lebih besar: siapa sebenarnya yang sedang dilindungi?

Politik memang tak selalu bersih. Tapi ketika kekuasaan memutuskan untuk melangkahi hukum demi kepentingan stabilitas jangka pendek, maka ia sedang menanamkan benih ketidakpercayaan yang akan tumbuh menjadi badai delegitimasi di kemudian hari.

Publik bukanlah kerumunan yang mudah dibius dengan retorika. Mereka melihat. Mereka mengingat. Dan ketika pengampunan diberikan tanpa proses yang adil, rakyat akan mencatatnya sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita keadilan.

Maka di bawah langit Republik, kita menyaksikan sebuah ironi: dua tokoh berbeda latar dan ideologi kini sama-sama mendapat restu. Tapi restu itu bukan buah dari pertarungan gagasan atau pembersihan nama lewat pengadilan, melainkan hasil dari sebuah sistem yang mengutamakan konsensus elit daripada kejujuran institusi.

Apakah ini strategi politik cerdas? Mungkin. Tapi apakah ini langkah moral yang benar? Jelas tidak.

Prabowo mungkin menang dalam percaturan politik. Tapi dalam hati rakyat, ia kehilangan satu hal yang paling mahal: kepercayaan. Dan di era ketika kepercayaan menjadi fondasi terakhir dari legitimasi, kehilangan itu bisa menjadi awal dari keruntuhan moral sebuah pemerintahan.

Aksi warga Pati di alun-alun
Catatan

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa Pati mungkin saja menjadi…