Tom Lembong bebas dan senyum khasnya itu akhirnya merekah dari balik gerbang rutan. Bukan sekadar senyum basa-basi atau formalitas di hadapan kamera, tapi senyum tulus yang tumbuh dari dalam dada.
Senyum penuh kelegaan setelah berbulan-bulan menghirup udara dari balik jeruji, menelan waktu dan harapan di ruang-ruang sidang yang entah sudah ke berapa kalinya. Dan hari itu, ia benar-benar bebas.
Senyum itu pun menular. Membuat orang-orang di sekelilingnya ikut merasa hangat, seolah turut menghela napas panjang setelah babak panjang yang melelahkan.
Tapi bagi sebagian lainnya, senyum itu juga memantik rasa ingin tahu yang tajam: Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Abolisi yang diberikan Presiden Prabowo secara mengejutkan menghentikan proses hukum Tom Lembong. Seketika. Nama yang sebelumnya dikaitkan sebagai dalang kerugian negara ratusan miliaran atas kebijakan impor gula, kini dinyatakan bersih oleh satu keputusan politik.
Tidak lagi ada banding, tidak ada pengadilan, tidak ada amar putusan. Semua dihentikan begitu saja, atas nama persatuan jelang hari kemerdekaan.
Saya sendiri tak mengenal Tom secara personal. Tapi setelah mengikuti sidangnya yang berjilid-jilid hingga menyentuh 24 kali persidangan, sulit rasanya tak menaruh simpati.
Sulit pula untuk menampik kesan bahwa ia adalah pribadi yang bersih dan berintegritas. Dalam banyak testimoni dan bukti yang diajukan, tidak ditemukan mens rea atau niat jahat yang biasanya menjadi fondasi penting dalam membuktikan kesalahan pidana.
Bahkan banyak yang meyakini, vonis 4,5 tahun dari PN Jakarta Pusat bukan cerminan kebenaran sejati, melainkan hasil dari konstruksi yang dipaksakan.
Dan di titik inilah Prabowo melangkah masuk.
Abolisi: Ketika Hukum Ditekuk oleh Kekuasaan
Abolisi bukan keputusan kecil. Ini adalah bentuk kekuasaan tertinggi presiden untuk menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Dalam sistem hukum Indonesia, ini sah.
Diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 dan diperinci dalam UU No. 22 Tahun 2002. Presiden tak perlu meminta izin pada Mahkamah Agung atau lembaga manapun. Ini murni hak prerogatif. Titik.
Tapi justru karena itulah, publik berhak bertanya: apakah keputusan ini bijak?
Abolisi bukan hanya menghentikan sebuah proses hukum. Ia menghentikan pencarian kebenaran. Ia menutup ruang bagi fakta-fakta baru untuk terkuak. Dalam kasus Tom, proses banding sendiri sedang berlangsung.
Masih ada peluang untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah melalui jalur hukum formal. Tapi abolisi membuat semua itu mustahil. Ia tidak lagi bebas karena diputus tidak bersalah oleh hakim. Ia bebas karena seorang presiden memutuskan begitu.
Apakah ini bentuk keadilan? Ataukah ini justru tanda bahwa hukum bisa dibelokkan oleh kehendak politik?
Rekonsiliasi dan Cermin Sejarah: Gus Dur dan Abolisi yang Bermakna
Keputusan Prabowo tak pelak mengingatkan kita pada sejarah—terutama pada langkah Presiden Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, yang pernah mengusulkan pemberian abolisi bagi aktivis Aceh pada masa pemerintahannya.
Namun konteksnya sungguh berbeda. Gus Dur menggunakan abolisi sebagai alat politik damai, untuk meredam konflik bersenjata dan membuka ruang dialog nasional.
Di saat negara terlalu lama menggunakan pendekatan kekerasan terhadap kelompok pinggiran, Gus Dur justru menawarkan pengampunan. Bagi Gus Dur, abolisi adalah jembatan perdamaian—bukan alat untuk menyelamatkan atau menguntungkan kepentingan satu kelompok.
Langkah Gus Dur saat itu menuai pro dan kontra, tapi paling tidak jelas: ia punya visi kebangsaan yang konkret. Ia membela mereka yang selama ini dimarjinalkan oleh negara. Ia memberi makna baru pada kewenangan presiden—sebagai pemersatu, bukan sekadar pelurus sengketa hukum yang kabur.
Lalu bagaimana dengan kasus Tom?
Alih-alih menyasar problem struktural, abolisi kali ini justru diarahkan pada kasus pidana individu yang belum final. Bukan mengakhiri konflik ideologis, tapi menghentikan proses pengadilan yang sedang mencari kebenaran. Maka, sulit untuk tidak melihat bahwa ini bukan sekadar kebijakan hukum, melainkan kalkulasi politik.
Narasi Rekonsiliasi yang Membingungkan
Prabowo berdalih bahwa keputusan ini diambil demi persatuan dan rekonsiliasi bangsa, terlebih menjelang Hari Kemerdekaan. Frasa yang terdengar sangat luhur. Tapi publik tentu tahu, dalam dunia politik, frasa yang luhur sering menyembunyikan niat yang tak sebersih itu.
Tom adalah tokoh penting. Pernah berdiri di barisan yang tak segaris dengan penguasa. Membebaskannya sekarang (di awal masa jabatan Prabowo), mudah dibaca sebagai sinyal politik: bahwa pemerintahan ini ingin merangkul semua pihak, bahkan yang dulu pernah menjadi lawan.
Ini bukan pertama kalinya kekuasaan menggunakan pendekatan semacam ini. Tapi ketika pendekatan itu memotong proses hukum, maka demokrasi kita sedang berada dalam ujian berat.
Banyak pihak yang menyambut keputusan ini dengan tepuk tangan. Tapi banyak juga yang cemas, karena apa yang terjadi pada Tom hari ini, bisa terjadi pada orang lain besok, bukan karena keadilan ditegakkan, tapi karena politik berbicara lebih nyaring daripada hukum.
Siapa yang Menang? Siapa yang Kalah?
Tom memang bebas. Tapi publik kehilangan sesuatu yang tak kalah penting: kepastian bahwa hukum bekerja secara independen. Ketika seorang warga biasa terjerat kasus, ia tak punya akses ke abolisi.
Ia harus menempuh jalur hukum, satu demi satu, sampai tuntas. Tapi Tom mendapat “ampunan’ dari kekuasaan karena ada maksud tertentu. Maka hilanglah rasa keadilan yang seharusnya merata.
Hukum tak lagi menjadi arena kebenaran, tapi panggung drama politik. Dan dalam drama itu, kita semua jadi penonton yang hanya bisa berharap bahwa episode berikutnya tidak lebih kelam dari hari ini.
Refleksi: Di Balik Senyum dan Bayang-Bayang Kuasa
Senyum Tom mungkin tulus. Tapi ia juga menyisakan kepedihan—bagi mereka yang masih memperjuangkan keadilan dengan jalan terjal. Kita tentu tak bisa menyalahkan Tom atas keputusan yang bukan ia buat.
Tapi kita juga tak bisa berhenti bertanya: apa yang sebenarnya sedang diperjuangkan oleh negara ini? Keadilan, atau stabilitas politik semu?
Abolisi seharusnya bukan pintu darurat untuk menyelamatkan wajah kekuasaan. Ia harus jadi alat yang bijak, digunakan hanya ketika hukum benar-benar gagal menjalankan fungsinya.
Tapi hari ini, garis itu tampaknya makin kabur. Dan senyum yang semula hangat, berubah menjadi pertanda bahwa sistem kita sedang pincang, dan kita sebagai rakyatnya tentu perlu lebih awas. Waspadalah, waspadalah!