Catatan : Azhari Hafid
Saya masih ingat hari itu, Senin, 13 Juli 2020—langit Samarinda sedang murung. Pesawat yang saya tumpangi dari Jakarta menuju Samarinda harus memutar arah. Kami tak bisa mendarat. Cuaca terlalu enggan diajak kompromi. Pilot mengumumkan: “Kita akan transit dulu di Balikpapan, menunggu cuaca membaik.”
Ironis. Padahal dari awal, saya sengaja memilih rute ini untuk menghindari jalur panjang lewat Balikpapan. Biasa, ada pekerjaan mendesak di Bontang. Lewat Bandara APT Pranoto di Samarinda seharusnya lebih cepat. Tapi hari itu, langit punya rencana lain.
Saya sudah beberapa kali mendarat di Bandara Samarinda ini. Pilihannya memang terbatas, jadwalnya tidak sebanyak di Balikpapan. Tapi tetap saja, bagi warga Samarinda, Bontang, atau Sangatta, bandara baru ini seperti oase. Tak perlu menempuh 6 jam darat hanya untuk sampai ke bandara.
Namun, saya tidak bisa tidak berpikir… Bandara Samarinda ini memang dilematis.
Balikpapan sudah jauh lebih siap. Maskapai banyak. Jadwal penerbangan pun luwes. Mau ke Jakarta, Surabaya, atau bahkan Makassar, tinggal pilih. Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman itu seperti mal—ramai, nyaman, dan efisien. Bandara Samarinda? Masih seperti toko kelontong. Ada, tapi pilihannya terbatas.
Sekarang muncul pertanyaan baru: bagaimana jika tol Samarinda–Bontang benar-benar selesai dibangun?
Jalan tol ini bukan sekadar penghubung dua kota. Ia bisa mengubah peta mobilitas warga. Orang Bontang bisa saja lebih memilih ke Bandara Balikpapan lewat jalan tol. Cepat, lempang, dan bisa langsung dapat tiket maskapai apa pun. Kalau begitu, siapa yang masih memilih terbang lewat Samarinda?
Tapi saya juga tahu, tol bukan sekadar soal pergi ke bandara. Ini tentang konektivitas. Tentang logistik. Tentang ekonomi yang bisa berdenyut lebih cepat.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Syarifatul Sya’diah, menyuarakan dukungan penuh terhadap proyek strategis ini. Menurutnya, tol ini akan memperlancar distribusi logistik, membuka akses ekonomi, dan mempercepat pertumbuhan di wilayah tengah dan pesisir timur Kalimantan Timur. Bontang selama ini masih bergantung pada jalur lama yang berkelok dan tidak selalu bersahabat.
“Kaltim memang sudah punya jalan tol. Tapi ke Bontang? Itu masih jalur yang cukup menantang,” katanya.
Saya percaya. Jalan bisa mengubah nasib. Tapi saya juga percaya, bandara yang sepi bisa jadi terminal yang ditinggalkan.
Barangkali memang waktunya memilih. Waktu itu 13 Juli 2020, dan hari ini 15 Juli 2025. Pilihannya; antara langit yang tak selalu cerah… dan aspal yang perlahan makin mulus.