Oleh : Bono Irawan
Di balik riuhnya kendaraan yang kini melintas setiap hari, Bukit Cinta menyimpan cerita panjang tentang perubahan. Dahulu, nama ini sering disebut dengan nada was-was, karena wilayahnya terkenal angker dan sunyi. Malam hari, jarang sekali ada yang berani lewat. Jalan yang berliku, minim penerangan, dikelilingi pepohonan lebat, membuat siapa pun merinding hanya membayangkannya.
Namun, waktu berjalan. Perlahan, Bukit Cinta berubah wajah. Dari jalur sepi yang dulu dihindari, kini ia menjadi salah satu akses utama di Balikpapan. Di beberapa titik, kafe, warung makan, dan tempat berkumpul anak muda mulai tumbuh. Lampu-lampu toko dan kendaraan kini menggantikan gelapnya malam. Walau penerangan jalan masih belum sempurna, suasana yang dulu penuh misteri kini semakin berganti dengan kehidupan.
Bagi generasi yang pernah mengalaminya, perubahan ini membawa rasa syukur sekaligus nostalgia. Penulis masih ingat jelas masa-masa duduk di bangku SMP Negeri 7. Saat itu, Bukit Cinta adalah area terbuka dengan tanah lapang yang sering dijadikan tempat bermain bola selepas sekolah. Terkadang, di pagi hari ketika ada jadwal olahraga, jalur ini menjadi rute jalan santai. Udara pagi masih murni, harum tanah basah usai hujan, dan deru angin yang bertiup dari sela pepohonan terasa segar di kulit.
Namun, begitu malam datang, cerita berubah drastis. Suasana yang siang tadi penuh tawa, mendadak sunyi. Jalan menjadi gelap, hanya diterangi cahaya bulan atau lampu kendaraan yang sesekali melintas. Di kejauhan, suara jangkrik berpadu dengan gesekan dedaunan. Beberapa warga mengaku sering mendengar suara aneh atau melihat bayangan samar di antara pepohonan. Kisah-kisah mistis pun beredar luas, membuat Bukit Cinta semakin lekat dengan sebutan “angker”.
Saat itu, rumah-rumah nyaris tidak ada di sekitar sini. Hanya tanah kosong dan rimbunan pohon. Bahkan dari kejauhan, jalan ini terlihat seperti lorong gelap yang memanjang, menantang keberanian siapa saja yang hendak melintas.
Kini, pemandangan itu sudah berubah. Meski di beberapa sudut masih tampak sisa-sisa suasana lamanya, sebagian besar Bukit Cinta sudah ramai. Kafe dengan lampu-lampu hangat mulai mengundang orang untuk singgah. Beberapa rumah dan usaha kecil berdiri di pinggir jalan, memberi tanda bahwa kehidupan di sini tak lagi sekadar lewat, tetapi tinggal.
Harapannya, Bukit Cinta akan terus dibenahi. Penerangan yang memadai, jalur yang rapi, serta fasilitas publik yang menunjang, akan membuat tempat ini semakin nyaman. Dan mungkin, di masa depan, Bukit Cinta tak hanya dikenal sebagai jalan utama, tetapi juga sebagai destinasi yang menyimpan kisah unik—dari masa lalu yang penuh misteri, ke masa kini yang penuh kehidupan.
Bagi yang pernah merasakan masa itu, setiap melintas di Bukit Cinta selalu membawa pulang satu hal: kenangan yang tak lekang oleh waktu. Bau tanah basah, teriakan teman saat bermain bola, dan bisik-bisik cerita mistis yang dulu membuat bulu kuduk berdiri, kini menjadi bagian dari sejarah pribadi yang tersimpan rapi di hati. (ek)