Jakarta – Persoalan batas wilayah antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur kembali mencuat, kali ini dibahas langsung dalam pertemuan penting yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) di Jakarta, Kamis (31/7/2025). Pertemuan ini merupakan tindak lanjut atas Keputusan Sela Mahkamah Konstitusi (MK) yang memerintahkan adanya mediasi antar kedua belah pihak.
Untuk diketahui, Putusan sela Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas wilayah Kutai Timur (Kutim) dan Bontang, khususnya kawasan Kampung Sidrap, keluar pada 14 Mei 2025 (Nomor 10-PS/PUU-XXII/2024). Intinya:
– MK memerintahkan Gubernur Kalimantan Timur memfasilitasi mediasi antara Pemkot Bontang, Pemkab Kutim, dan Pemkab Kukar terkait cakupan dan batas wilayah, selambatnya tiga bulan sejak putusan.
– Putusan sela memerintahkan pemerintah provinsi melalui gubernur melakukan mediasi dengan para pihak yang bersengketa, bukan dimaknai tidak boleh berbuat sesuatu khususnya pembangunan daerah.
– Fokus MK adalah solusi pelayanan publik—batas wilayah administratif masih berpegang pada Permendagri 25/2005 yang menyebut Kampung Sidrap sah masuk wilayah Kutim, tapi pelayanan dan administrasi warga tetap harus diutamakan. Dan hasil mediasi wajib dilaporkan ke MK maksimal tujuh hari setelah tenggat berakhir.
Kembali ke pertemuan, menurut sumber media ini, berlokasi di Ruang Jempang, Kantor Badan Penghubung Provinsi Kaltim, Jakarta, pertemuan tersebut dihadiri jajaran pimpinan daerah dari Bontang, Kutim, hingga Kutai Kartanegara, serta para pejabat pusat dan provinsi. Hadir langsung Gubernur Kaltim H. Rudy Mas’ud (Harum), Ketua DPRD Kaltim H. Hasanuddin Masud, Dirjen BAK Kemendagri Dr. Safrizal, serta sejumlah tokoh penting lainnya.
Isu utama dalam pertemuan ini adalah status Dusun Sidrap yang luasnya mencapai 164 hektare. Pemkot Bontang mengusulkan wilayah tersebut menjadi bagian dari wilayah administratifnya. Namun, usulan ini ditolak oleh Pemkab Kutim bersama DPRD-nya.
Meski perbedaan pendapat mencuat, mediasi menghasilkan empat kesepakatan utama, yakni:
- Usulan Pemkot Bontang agar Dusun Sidrap menjadi bagian dari wilayah administrasinya.
- Penolakan Pemkab Kutim dan DPRD Kutim atas usulan tersebut.
- Kesepakatan dilakukannya survei lapangan bersama oleh Gubernur Kaltim, Pemkot Bontang, dan Pemkab Kutim.
- Hasil survei lapangan akan dilaporkan langsung ke Mahkamah Konstitusi.
Gubernur Harum menekankan pentingnya menyelesaikan persoalan ini dengan kepala dingin dan pandangan luas, tak sekadar secara hukum.
“Kita tidak sedang mencari siapa yang menang atau kalah. Ini soal tanggung jawab bersama. Jangan hanya lihat dari sisi hukum. Kita harus pertimbangkan sejarah, ekonomi, sosial, budaya, dan tentu saja aspirasi masyarakat,” tegas Harum.
Ia juga mengingatkan bahwa peta seharusnya bukan memisahkan, tapi memperjelas tanggung jawab antar wilayah.
“Peta bukan untuk memisahkan kita. Kita semua tetap satu di bawah Pemprov Kaltim. NKRI itu harga mati!” serunya penuh semangat.
Dalam penyelesaiannya, Gubernur Harum meminta agar seluruh pihak tetap mengutamakan Standar Pelayanan Minimal (SPM) kepada masyarakat. Ada enam sektor utama SPM yang harus dipenuhi: pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketertiban dan perlindungan masyarakat, serta sosial.
“Jangan sampai masyarakat jadi korban tarik-menarik wilayah. Pemerintah harus hadir memberi pelayanan terbaik,” tegas Harum. (ede)