Solo – Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, melontarkan pernyataan tajam yang memicu tafsir politik saat menghadiri Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Solo. Di hadapan para kader, termasuk putra bungsunya yang juga Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, Jokowi menegaskan bahwa PSI bukan partai milik keluarga.
“Tidak ada kepemilikan elite, tidak ada kepemilikan keluarga di PSI. Semua memiliki saham yang sama,” ujar Jokowi.
Pernyataan ini sontak menjadi sorotan karena disampaikan dalam forum resmi partai yang kini dikomandoi oleh anaknya sendiri. Publik pun mempertanyakan: apakah ini klarifikasi, penegasan, atau justru sindiran halus terhadap praktik politik dinasti yang kerap dikaitkan dengan keluarga Jokowi?
Ketua Umum PSI Memang Anak Jokowi, Tapi…
Kaesang Pangarep diangkat sebagai Ketua Umum PSI pada 2023, tak lama setelah bergabung dengan partai. Langkah ini sempat menuai kritik karena dinilai memperkuat praktik politik dinasti. Namun, Jokowi justru memuji sistem internal PSI yang dinilai transparan dan demokratis, termasuk penerapan e-voting dalam pemilihan ketua umum.
“Dengan e-voting, semua anggota punya suara. Tidak ada pengaruh dari belakang layar,” kata Jokowi menambahkan.
Pesan Jokowi seolah ingin menegaskan bahwa PSI bukan alat politik keluarga, meski realitas struktural menunjukkan sebaliknya. Ia bahkan menyebut bahwa model kepemilikan bersama di PSI adalah keunikan partai ini dibanding partai-partai lama yang masih kental dengan dominasi elite dan garis keturunan
“Kalau semua mesin partai bekerja keras, PSI akan besar. Tapi tidak sekarang, saya kira baru 2034,” katanya.
Pernyataan itu sekaligus menjadi pembatas ekspektasi publik terhadap cepatnya loncatan elektoral PSI, meski memiliki figur publik kuat di barisan terdepan.
Analisis: Sindiran atau Cuci Nama?
Pernyataan Jokowi tentang “tidak ada kepemilikan keluarga” dinilai sebagian pengamat sebagai upaya meredam tudingan politik dinasti, terutama setelah putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024, dan kini Kaesang terpilih kembali memimpin PSI.
“Bisa dilihat sebagai bagian bersih-bersih Jokowi dari isu yang menyerangnya, atau juga sindirian ke partai-partai politik besar saat ini, yang mayoritas dimiliki elit dan keluarga,” kata Azhari Hafid, pemerhati politik di Jakarta.
Di sisi lain, langkah Jokowi ini bisa dibaca sebagai upaya menjaga jarak simbolik dari tuduhan nepotisme, sekaligus membentuk narasi baru bahwa partai yang dipimpin anaknya bukan milik keluarga, tapi milik publik. (ah)