Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Catatan

Jolly Roger Dianggap Ancaman, Negara Ini Sehat?

672
×

Jolly Roger Dianggap Ancaman, Negara Ini Sehat?

Sebarkan artikel ini
Jolly Roger, desain yang dipakai sebagai simbol perlawanan di serial anime One Piece
Jolly Roger, desain yang dipakai sebagai simbol perlawanan di serial anime One Piece

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa

Suatu pagi di bulan Agustus, di sebuah tiang bendera yang tak terlalu tinggi, berkibar dua kain. Yang pertama, merah dan putih, seperti biasa: lambang negara, saksi perjuangan.

Example 300x600

Yang kedua, bergambar tengkorak bertopi jerami, simbol bajak laut dari dunia fiksi bernama One Piece. Anak-anak muda mengibarkannya dengan senyum. Mereka tertawa. Mereka bermain-main dengan angin, dengan langit, dengan simbol yang mereka cintai.

Tapi kemudian negara datang. Tidak dengan senyum. Tidak dengan tawa. Negara datang dengan kemarahan. Katanya itu makar. Katanya itu penghinaan. Katanya, bendera fiksi di bawah merah putih adalah pelecehan terhadap lambang negara.

Maka anak-anak muda itu dipanggil. Dipaksa menjelaskan. Diperiksa, didesak, ditekan. Dan kita semua, yang menyaksikannya lewat layar, bertanya-tanya dalam hati: sejak kapan fiksi bisa dituduh makar?

Negara ini sudah merdeka delapan puluh tahun. Tapi kadang, perilakunya masih seperti anak muda yang baru belajar kuasa. Ia mudah marah. Mudah tersinggung. Mudah merasa diserang, bahkan oleh hal-hal kecil. Bahkan oleh hal-hal yang sebenarnya lucu, remeh, atau hanya ekspresi dari kegembiraan yang tak berbahaya.

Negara yang kuat tak akan goyah oleh sehelai kain bergambar tokoh kartun. Tapi negara yang rapuh, negara yang takut pada bayang-bayangnya sendiri, akan mudah merasa terancam oleh apa pun—termasuk oleh imajinasi.

Apa benar negeri ini bisa digulingkan oleh anak-anak yang mengibarkan bendera One Piece? Apa benar Merah Putih kehilangan wibawanya hanya karena di bawahnya ada bendera bajak laut dari dunia fiksi?

Kalau jawabannya ya, maka masalah kita bukan di anak-anak itu. Masalah kita ada di kepercayaan diri negara ini sendiri.

Sejak dulu, orang muda suka bermain simbol. Bung Karno dulu juga bermain simbol: bendera, bambu runcing, pidato membakar semangat. Ia tahu kekuatan dari lambang dan imajinasi. Ia tahu bahwa bangsa ini bukan cuma dibangun oleh senjata, tapi juga oleh mimpi.

Tapi kini, di era setelah kemerdekaan, negara tampaknya lupa bahwa kebebasan bukan hanya soal memilih pemimpin atau punya KTP. Kebebasan juga soal mengekspresikan diri, mencintai budaya, bahkan menertawakan kekuasaan.

Ketika negara terlalu cepat melabeli sesuatu sebagai makar, maka ia sedang menutup pintu terhadap kritik, terhadap kreativitas, terhadap suara yang berbeda. Dan itu adalah tanda bahwa negara mulai takut—bukan pada rakyat, tapi pada pikirannya sendiri.

Merah Putih itu sakral, ya. Tapi sakral bukan berarti tidak bisa hidup bersama makna-makna lain. Ia bukan berhala yang tak boleh disentuh. Ia adalah lambang yang hidup justru karena rakyat mencintainya, bukan karena aparat memaksa hormat.

Yang terjadi dalam kasus bendera One Piece bukan penghinaan, tapi justru penghormatan dalam cara baru. Anak-anak itu menempatkan Merah Putih tetap di atas. Mereka tidak membakarnya. Tidak mencoretnya. Tidak membiarkannya jatuh. Mereka tahu, Merah Putih adalah lambang negeri.

Tapi mereka juga ingin berkata: “kami juga punya simbol, dari dunia yang kami kenal, yang kami cintai.”

Bukankah itu indah? Ketika nasionalisme tidak hanya hadir dalam lagu wajib dan upacara bendera, tapi juga dalam tawa dan imajinasi anak-anak muda?

Di dunia One Piece, Luffy bukan perompak sembarangan. Ia bukan pencuri. Ia adalah petarung untuk keadilan. Ia melawan kekuasaan yang korup. Ia tidak tunduk pada tirani. Ia percaya pada teman, pada mimpi, pada kebebasan.

Barangkali itulah yang membuat negara takut. Karena di balik bendera tengkorak itu, ada semangat yang tak tunduk. Dan negara selalu curiga pada semangat semacam itu. Bahkan ketika ia datang dari serial kartun.

Tapi kita tahu, yang lahir dari semangat itulah yang dulu melawan penjajahan. Yang dulu menolak tunduk pada kekuasaan Belanda. Yang dulu berani berdiri di tengah bahaya dan berkata: “Merdeka!”

Kalau semangat semacam itu kini dianggap subversif, maka barangkali negeri ini mulai lupa pada asal usulnya.

Negara ini butuh banyak hal: pendidikan yang lebih baik, layanan kesehatan yang terjangkau, harga sembako yang stabil, keadilan hukum yang merata. Tapi entah mengapa, yang justru cepat ditindak adalah pengibaran bendera fiksi.

Padahal, di luar sana banyak bendera palsu lain yang berkibar: bendera korupsi, bendera manipulasi hukum, bendera ketimpangan. Tapi semua itu tak segera disebut makar.

Yang disebut makar adalah anak-anak yang menonton kartun, lalu mengekspresikan kecintaannya dengan kain bergambar Jolly Roger. Sungguh ironis, bukan?

Di sini kita melihat bahwa negara masih sering tersinggung pada hal yang tidak penting, dan justru diam pada hal yang menyakiti rakyatnya sendiri.

Nasionalisme hari ini tidak bisa lagi diukur dari seberapa kaku seseorang menyanyikan lagu kebangsaan, atau seberapa tegap dia berdiri saat bendera dinaikkan. Nasionalisme hari ini lahir dari cara seseorang berjuang agar tanah airnya jadi tempat yang lebih adil, lebih ramah, lebih terbuka untuk bermimpi.

Anak-anak muda yang hari itu mengibarkan bendera One Piece mungkin tak pernah ikut rapat RT, tak hafal lagu perjuangan, atau tak pernah menonton film dokumenter tentang proklamasi.

Tapi mereka mencintai negeri ini dengan cara yang mereka pahami. Mereka ingin bicara tentang impian, tentang kebebasan, tentang petualangan hidup yang lebih luas dari ruang kelas dan aplikasi absensi sekolah.

Kita perlu memahami bahwa nasionalisme bukanlah monumen mati. Ia adalah ruang yang hidup, bergerak, dan berubah. Dan hari ini, anak-anak muda adalah penjaga baru dari semangat itu. Bukan dengan pidato, tapi dengan meme, video, anime, dan kreativitas yang terkadang tak dimengerti oleh mereka yang sudah terlalu lama hidup di dunia seragam.

Kenapa negara kita begitu takut pada tawa dan imajinasi? Barangkali karena ia belum sembuh dari lukanya sendiri. Luka masa lalu—ketika simbol sering dipakai untuk melawan, ketika bendera bisa berarti pemberontakan, ketika teater rakyat dituduh propaganda.

Negeri ini masih mencurigai apa pun yang tak bisa dikendalikan. Dan kreativitas anak muda adalah satu hal yang memang sulit dikendalikan. Maka ia jadi sasaran: ditertibkan, dipanggil, diberi ceramah panjang.

Tapi bukankah kita seharusnya sudah sampai di masa yang berbeda? Masa ketika negara tak perlu lagi takut pada anak-anak yang bersenang-senang dengan simbol fiksi? Masa ketika negara tidak merasa terancam oleh gelombang cinta terhadap dunia imajinasi?

Kalau kita masih berada dalam ketakutan seperti itu, maka barangkali kemerdekaan kita baru sebatas bendera dan seremoni, belum sampai pada cara berpikir.

Mari kita jujur. Siapa yang benar-benar merendahkan Merah Putih? Apakah anak muda yang menaruh bendera anime di bawahnya? Atau para pejabat yang memperkaya diri sendiri dengan korupsi, padahal mereka bersumpah di bawah bendera itu?

Apakah siswa yang mengunggah video kreatif dengan kain bergambar Luffy? Atau mereka yang menginjak-injak hukum, menindas yang lemah, dan menyebut semua itu sebagai demi pembangunan?

Kita terlalu mudah menuduh generasi muda tak menghormati simbol negara. Tapi kita lupa, banyak yang menghancurkan makna dari simbol itu tanpa perlu mengibarkan bendera apa pun.

Merah Putih bukan hanya lambang. Ia adalah janji. Janji bahwa negara ini berdiri untuk keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan semua rakyat. Siapa pun yang mengkhianati janji itu—mereka lah yang benar-benar menodai bendera.

Mengapa anak-anak muda mencintai One Piece? Karena di dalamnya, mereka melihat diri mereka sendiri. Luffy bukan orang kaya. Ia bukan pangeran. Ia bukan anak penguasa. Ia cuma anak muda yang ingin berlayar, mencari kebenaran, dan menolong mereka yang tertindas.

Itu bukan sekadar cerita bajak laut. Itu adalah narasi tentang harapan. Dan di negeri yang masih penuh kesenjangan ini, anak-anak muda sedang haus akan kebebasan.

Mereka tak menemukan panutan pada para politisi. Mereka tak percaya lagi pada pidato kosong. Maka mereka berpaling ke dunia fiksi. Ke dunia di mana kebaikan menang. Di mana keadilan akhirnya datang. Di mana teman tak saling meninggalkan.

Bukankah itu juga yang dicita-citakan bangsa ini saat merdeka?

Kita sebentar lagi merayakan 80 tahun kemerdekaan. Tapi pertanyaannya, merdeka untuk siapa? Apakah kita sudah merdeka untuk berbeda pendapat? Untuk mengekspresikan diri? Untuk mencintai tokoh fiksi tanpa dituduh subversif?

Upacara bisa tetap berjalan. Lagu bisa tetap dinyanyikan. Tapi kalau negara masih sibuk mengurus hal-hal kecil, sementara ketimpangan dan ketidakadilan tetap besar, maka kemerdekaan itu belum sungguh hadir di antara kita.

Merah Putih tidak butuh dijaga dari bajak laut fiksi. Ia butuh dijaga dari kekuasaan yang rakus, dari hukum yang timpang, dari aparat yang mudah marah tapi sulit melindungi. Kita butuh negara yang kuat dalam jiwa, bukan hanya dalam aturan.

Negara seharusnya jadi sosok yang tenang. Yang tahu kapan harus tegas, kapan harus bijak, dan kapan harus tertawa bersama rakyatnya. Negara yang kuat bukan yang cepat menangkap, tapi yang cepat memahami. Bukan yang curiga pada simbol, tapi yang sigap menyelesaikan masalah nyata.

Kalau negara terlalu sibuk menjaga citra dan lambang, maka ia akan kehilangan makna. Kalau negara terus menegur rakyat yang bersenang-senang, maka rakyat akan berhenti merasa bagian dari negeri ini.

Kita tidak butuh negara yang selalu merasa benar. Kita butuh negara yang mau mendengar, yang mampu tertawa tanpa merasa ditertawakan, yang tahu bahwa mencintai negeri ini bisa datang dari banyak cara—termasuk lewat anime dan tawa anak-anak muda.

Barangkali sudah waktunya negara belajar dari mereka yang dianggap remeh itu. Dari para penggemar One Piece. Dari komunitas kreatif. Dari anak-anak yang membuat video, menggambar fanart, menulis puisi, atau sekadar mengibarkan kain dengan simbol fiksi.

Mereka sedang membangun bentuk baru dari nasionalisme. Nasionalisme yang tidak kaku. Nasionalisme yang bisa berlayar jauh, tapi tetap pulang ke pelabuhan bernama Indonesia.

Kalau negara terus-menerus salah paham, maka jarak antara penguasa dan rakyat akan semakin lebar. Dan itu yang benar-benar berbahaya. Bukan bendera bajak laut. Tapi ketakutan negara terhadap rakyatnya sendiri.

Maka di ulang tahun ke-80 republik ini, mari kita renungkan: sudahkah kita benar-benar merdeka? Atau kita masih dijajah oleh ketakutan, oleh simbol kosong, oleh keangkuhan kekuasaan?

Dan kepada mereka yang hari itu berdiri di bawah tiang bendera—dengan satu kain merah putih dan satu kain bertengkorak—terima kasih. Kalian telah mengingatkan kami: bahwa negeri ini tidak akan rusak oleh tawa. Tapi bisa hancur oleh keseriusan yang salah arah.

Aksi warga Pati di alun-alun
Catatan

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa Pati mungkin saja menjadi…