Oleh: Ocky Anugrah Mahesa
Setelah gaduh panjang akibat kesepakatan ekonomi timpang yang diteken di hadapan Presiden Trump, Prabowo Subianto muncul kembali dengan manuver politik yang tidak kalah dramatis: abolisi untuk Thomas Lembong, amnesti untuk Hasto Kristiyanto, dan pembukaan kembali jutaan rekening dormant milik rakyat yang sebelumnya dibekukan oleh PPATK.
Di layar kaca dan linimasa media sosial, langkah ini dielu-elukan sebagai bentuk keberanian politik. Namun, publik yang cerdas justru mencium aroma keterlambatan.
Prabowo tampak seperti pahlawan kesiangan. Ia datang bukan untuk menyelesaikan sesuatu dari hulu, tetapi hanya untuk memperbaiki citra yang nyaris karam. Seperti pemadam kebakaran yang baru datang saat rumah sudah tinggal abu.
Abolisi kepada Tom Lembong-yang selama ini dikenal sebagai teknokrat murni dan menjadi kambing hitam dalam kasus impor gula-lebih mirip sebagai akrobat politik, ketimbang langkah korektif berlandaskan hukum.
Begitu pula dengan amnesti bagi Hasto Kristiyanto, yang sebelumnya dicecar dalam pusaran kasus dugaan intervensi hukum, tak ubahnya sebuah tukar tambah kekuasaan.
Lalu, langkah dramatis membuka rekening dormant yang diblokir PPATK? Publik layak bertanya: mengapa baru sekarang? Tidakkah ini sekadar cara Prabowo untuk mengulur usia simpati, saat legitimasi publik terhadap pemerintahannya mulai menyusut?
Manuver ini ibarat membagikan permen manis setelah menyajikan sepiring janji pahit. Ia hadir bukan karena rakyat, tetapi karena tekanan opini. Tidak muncul dari rasa tanggung jawab, melainkan kepanikan citra. Maka dari itu, publik harus jeli: ini bukan keberanian politik, ini adalah kalkulasi politis.
Kegagalan program-program kerja Prabowo sudah mulai tampak dari kaca retak pemerintahan yang ia pimpin. Program makan siang gratis nasional, yang diklaim monumental, justru macet di tengah jalan karena buruknya tata kelola logistik dan pembengkakan anggaran.
Program industrialisasi pertahanan yang digadang-gadang membawa Indonesia menuju swasembada militer, hingga kini hanya menghasilkan simbol-tanpa substansi.
Janji pengendalian harga pangan? Inflasi beras dan kebutuhan pokok tetap mencekik, terutama di kota-kota kecil dan desa. Sementara proyek Ibu Kota Nusantara yang semestinya menjadi simbol kemajuan, kini menjadi sumur anggaran yang tak berujung. Investor asing tak kunjung datang, dan pendanaan negara terus digerus.
Di tengah deretan kegagalan itu, manuver abolisi, amnesti, dan pengampunan rekening rakyat hanyalah remah pengalihan isu. Seolah ingin membangun narasi bahwa Prabowo mendengar jeritan rakyat. Padahal, suara rakyat telah lama diabaikan, dibungkam oleh data statistik yang dibalut jargon kemajuan.
Prabowo bisa saja tampil di panggung dengan jubah patriot, namun rakyat tahu: patriotisme tak diukur dari banyaknya pengampunan politik, melainkan dari keberanian untuk menepati janji.
Dan ketika janji-janji itu hanya menjadi batu loncatan menuju tepuk tangan, maka sejarah akan mencatat: ia bukan pahlawan, ia sekadar aktor yang datang terlambat di panggung yang nyaris kosong.
Inilah saatnya publik tidak terbuai pada teatrikal kekuasaan. Pemberian abolisi dan amnesti bukan sekadar kebijakan hukum-ia adalah instrumen politik. Dan ketika instrumen itu digunakan bukan untuk keadilan, melainkan untuk kosmetika citra, maka demokrasi kita sedang dalam bahaya.
Pahlawan yang datang kesiangan tetaplah terlambat. Dan keterlambatan, dalam politik, seringkali bukan karena tidak tahu arah-tetapi karena terlalu lama menimbang untung-rugi.
Kini, saat kegagalan mulai tertulis terang dalam statistik dan keluhan rakyat, Prabowo berdiri di persimpangan. Ia bisa memilih untuk jujur pada realitas dan mulai memperbaiki kebijakan dengan mendengarkan suara rakyat. Atau ia terus berdansa di atas panggung popularitas semu, yang pada akhirnya akan rubuh sendiri oleh beban janji yang tak tertunaikan.
Publik telah melihat cukup banyak drama politik. Mereka tak lagi butuh pahlawan kesiangan, mereka menanti negarawan sejati. Sebab sejarah selalu berpihak pada yang berani berkata jujur, bukan pada mereka yang pandai bersandiwara.