Oleh : Bono Irawan
Pagi itu, di sebuah ruang kelas sederhana yang telah disulap menjadi tempat belajar Al-Qur’an, suara lantunan ayat-ayat suci terdengar mengalun lembut. Di antara barisan siswa-siswi berjilbab rapi dan berpeci putih, duduk pula seorang ibu yang tak kalah serius menyimak bimbingan ustazah di hadapan mereka.
Namanya Eka Sukmawati, seorang ibu rumah tangga sekaligus wali murid dari Andi Aqilla, siswi kelas 6C SDIT BIS (Balikpapan Islamic School). Meski awalnya hanya datang mengantar sang anak, Eka kini turut serta menjadi bagian dari program tahsin Al-Qur’an menggunakan metode Ummi yang diadakan rutin di sekolah tersebut.
“Awalnya saya malu, apalagi belajar bareng anak-anak. Tapi ternyata di sini semua sama-sama belajar, tidak ada yang saling menghakimi. Saya jadi merasa lebih tenang dan percaya diri memperbaiki bacaan saya,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.
Program tahsin ini bukan hanya berlangsung di SDIT BIS, melainkan menjadi gerakan spiritual yang meluas ke berbagai sekolah Islam di Balikpapan dan sekitarnya. Tujuannya sederhana tapi bermakna dalam: memperbaiki dan memperlancar bacaan Al-Qur’an para siswa, guru, bahkan orang tua murid.
Di SDIT BIS sendiri, tahsin dilakukan rutin seminggu dua kali, dipandu oleh pengajar bersertifikasi dari lembaga Quranic Learning Center BIS. Kelas-kelas dibuat berkelompok berdasarkan kemampuan—dari pemula, menengah, hingga lanjutan. Tak ada tekanan, hanya dorongan lembut untuk saling mengingatkan dan memperbaiki.
“Al-Qur’an itu bukan hanya untuk dihafal, tapi juga harus dibaca dengan baik dan benar,” ujar Bunda Aini, salah satu pengampu program tahsin di sekolah. “Khususnya di usia anak-anak, pembiasaan membaca dengan tartil akan membentuk karakter disiplin dan cinta terhadap Al-Qur’an sejak dini,” tambahnya.
Menariknya, keikutsertaan orang tua seperti Eka menjadi nilai tambah dari program ini. Anak-anak menjadi lebih semangat saat melihat orang tuanya pun ikut belajar. Sementara orang tua menemukan ruang untuk memperdalam ilmu agama yang mungkin dulu terlewatkan karena kesibukan duniawi.
“Aqilla jadi sering ngajak saya murojaah di rumah. Dulu dia yang saya ajarkan doa harian, sekarang dia yang koreksi makhraj huruf saya,” kata Eka sambil tersenyum.
Dalam suasana yang hangat dan bersahaja itu, setiap kesalahan menjadi bahan pelajaran bersama. Tidak ada guru dan murid dalam makna sempit. Semua adalah penuntut ilmu yang sedang menyempurnakan hubungannya dengan Al-Qur’an—secara bacaan, sekaligus secara batiniah.
Tahsin yang semula hanya dipandang sebagai bagian dari kurikulum kini menjelma menjadi gerakan spiritual yang merangkul seluruh komunitas sekolah. Di tengah gempuran teknologi dan derasnya informasi dunia maya, kegiatan seperti ini menjadi oase yang menyejukkan hati dan mengingatkan arah.
“Bacaan kami mungkin belum sempurna, tapi niat kami kuat,” ujar Eka, “Kami ingin memperbaiki diri, satu huruf suci demi satu. (ede)