Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Catatan

Pati Ngeri!

10
×

Pati Ngeri!

Sebarkan artikel ini
Aksi warga Pati di alun-alun
Aksi warga Pati di alun-alun

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa

Pati mungkin saja menjadi daerah dengan wajah kusam. Masih lekat di ingatan kasus penganiayaan pemilik mobil rental, yang membikin Pati jadi bulan-bulanan, dan kini Pati kembali jadi pembicaraan. Bukan karena kasus negatif, bukan pula karena tindakan premanisme. Tapi sebuah gerakan rakyat.

Example 300x600

Orang-orang Pati mendadak jadi sorotan. Gerakan arus bawah yang digalang akar rumput untuk menyoroti kesewenangan pemerintah, membuat Pati layak diperhitungkan. Bukan lagi menjadi daerah yang kata orang-orang sebagai sarangnya para penyamun.

Langkah ribuan kaki di Pati itu bukan sekadar derap, melainkan dentum—dentum yang memecah sunyi, mengguncang kursi kekuasaan, dan meretakkan dinding keangkuhan. Mereka turun bukan karena diajak, tetapi karena didorong oleh amarah yang tumbuh dari tanah sendiri.

Angin menggendong teriakan mereka, melesat di jalan-jalan, menembus pagar kantor, hingga menusuk ke telinga penguasa. Hari itu, rakyat Pati mendesak: cukup sudah kebijakan yang menindas, cukup sudah mereka dipimpin oleh manusia yang culas.

Di wajah-wajah itu, peluh bersenyawa dengan tekad, dan tekad itu bersenyawa dengan luka. Luka yang diukir oleh pajak bumi dan bangunan yang melompat 250 persen, oleh pemecatan tenaga honorer tanpa pesangon, oleh kebijakan lima hari sekolah yang diambil tanpa menatap mata murid-murid desa.

Sementara itu, mereka melihat proyek videotron berdiri, di sela jalan-jalan kampung menganga penuh lubang. Mereka melihat alun-alun dipoles, sementara dapur-dapur rakyat kosong dari beras. Ini bukan sekadar salah urus—ini adalah pengkhianatan yang diberi baju resmi.

Kenaikan PBB yang dibatalkan setelah protes dari rakyat pecah hanyalah gula yang terlambat dituang pada kopi yang sudah basi. Luka tidak sembuh hanya karena kebijakan dicabut; luka butuh keadilan, dan keadilan hanya datang bila yang melukai mau mundur.

Di benak rakyat, Bupati bukan sekadar pemimpin yang keliru arah—ia adalah wajah dari kekuasaan yang lupa daratan.

Ketika Sudewo berkata, “Lima ribu silakan demo, lima puluh ribu silakan demo,” ia bukan sekadar menantang rakyat—ia memukul gong perang. Kata-kata itu adalah undangan bagi ribuan kaki untuk menginjak aspal. Rakyat pun menjawab dengan jumlah yang melampaui hitungan itu, dengan suara yang tak bisa ditutup oleh pintu kantor bupati.

Alun-Alun Pati pada 13 Agustus 2025 menjelma lautan manusia. Air mineral berderet di trotoar, bukan sekadar untuk membasuh haus, tetapi sebagai pernyataan bahwa perlawanan ini akan panjang. Donasi mengalir, orasi menggelegar, yel-yel mengiris udara. Langit Pati hari itu berat oleh tekad.

Aliansi Masyarakat Pati Bersatu menjadi rumah bagi amarah yang tersusun rapi. Mereka tak lagi meminta pembatalan kebijakan—mereka menuntut pengunduran diri.

Sebab di mata rakyat, mandat adalah kontrak; sekali diingkari, kontrak itu layak diputus. DPRD mulai membicarakan hak angket, tanda bahwa badai ini bisa merobohkan singgasana.

Tapi Pati bukan cerita tunggal. Ia adalah pesan yang bisa dikirim ke setiap kabupaten: jika kebijakan ngawur dibuat, rakyat akan turun. Jika pintu tertutup, dinding akan digedor.

Hari ini Pati, besok mungkin kota lain. Gelombang perlawanan punya sifat yang sederhana: ia menular pada mereka yang lapar keadilan.

Dan di balik semua ini, ada bayang-bayang kebijakan pusat. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi anggaran memang terdengar manis di meja rapat, tapi di lapangan ia menjadi pisau yang memotong urat nadi pelayanan publik.

Pati sejatinya adalah korban nyata. Saat pusat memangkas, daerah mencari kambing hitam. Dan kambing itu selalu sama: rakyat kecil.

Efisiensi yang tanpa hati adalah penghematan yang mengubur harapan. Anggaran pendidikan menyusut, tenaga honorer diputus, layanan publik merosot. RSUD Soewondo memecat ratusan honorer lalu merekrut baru atas nama efisiensi.

Guru honorer terbuang demi kebijakan lima hari sekolah yang tak berpijak pada realitas desa. Pajak dinaikkan tiga kali lipat lalu dibatalkan seolah itu hadiah. Semua ini membentuk peta yang sama: kepala yang tak lagi mendengar denyut nadi rakyatnya.

Demonstrasi Pati adalah peringatan dini bagi setiap penguasa. Diamnya rakyat bukan tanda menyerah—diam itu adalah air yang mengendap sebelum menjadi banjir. Dan banjir itu akan datang bila hujan kesombongan terus turun.

Pati membuktikan bahwa keberanian rakyat hanyalah soal waktu. Rakyat tidak menunggu pemimpin oposisi; mereka menjadi oposisi itu sendiri.

Mereka mengatur logistik, menggalang dana, memanfaatkan media sosial untuk menyebar narasi. Mereka menciptakan panggung perlawanan yang tak bergantung pada restu siapa pun.

Bagi pemerintah pusat, ini alarm keras: jika efisiensi terus dipaksakan tanpa perhitungan sosial, Pati hanya akan menjadi bab pembuka dari buku panjang perlawanan rakyat. Presiden Prabowo boleh berbicara tentang strategi besar, tapi strategi yang mengorbankan kebutuhan dasar rakyat akan menjadi batu nisan politiknya sendiri.

Hari itu di Pati, pengeras suara kalah oleh pekik rakyat. Dan pekik itu akan terus bergema sampai kursi yang di duduki pengkhianat mandat dikosongkan. Pati telah melahirkan gelombang, dan gelombang itu tak akan kembali jadi riak.