Oleh : Bono Irawan
Pipa air yang tertanam di bawah jalan itu usianya sudah lebih dari dua dekade. Saat pertama kali dipasang, mungkin belum ada Balikpapan Baru seperti sekarang—kawasan hunian modern dengan ribuan kepala yang haus akan air bersih. Kini, tekanan air tinggi dan padatnya penggunaan membuat pipa itu tak sanggup lagi menahan beban.
Menurut seorang teknisi PDAM yang kami temui di sela perbaikan terakhir, “Ini bukan soal teknis saja. Ini soal usia pipa. Sudah terlalu tua. Harusnya diganti total, bukan diperbaiki terus-menerus.”
Tapi perbaikan demi perbaikan terus dilakukan. Galian baru, penambalan, kemudian bocor lagi. Dan warga harus kembali menampung air, kembali menyesuaikan hidup mereka dengan kondisi yang tidak pasti.
Genangan dan Gangguan
Bagi warga, genangan air dari kebocoran ini lebih dari sekadar ketidaknyamanan. Itu adalah gangguan nyata. Jalan menjadi licin, kendaraan terhambat, bahkan beberapa pengendara motor pernah tergelincir karena tak menduga ada aliran air tipis yang melintasi aspal.
“Saya pernah hampir jatuh karena licin. Malam hari, airnya mengalir pelan tapi bahaya,” ujar Rina, seorang pekerja yang tiap hari melintasi jalur tersebut.
Sementara itu, bagi ibu-ibu rumah tangga, kebocoran berarti suplai air yang terhenti. Mereka harus menampung air sejak malam atau bergantung pada galon isi ulang.
“Kalau sudah ada kabar pipa bocor, ya kami siap-siap. Air bisa mati seharian, kadang dua hari,” keluh Eka, warga RT 45.
Menanti Solusi
Masyarakat sudah jenuh dengan solusi tambal sulam. Mereka mendesak agar PDAM Balikpapan dan Pemkot segera mengganti seluruh jaringan pipa tua yang rawan bocor. Karena Ini soal perencanaan infrastruktur yang menyentuh kehidupan orang banyak. Jangan tunggu parah baru bertindak.
Tekanan publik kian kuat, dan waktu terus berjalan. Pipa tua itu masih bercerita, dan cerita itu selalu sama: bocor, genangan, lalu perbaikan—tanpa akhir. (ede)