Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BisnisCatatan

Washington Prank: Kesepakatan Semu Ekonomi AS-Indonesia

53
×

Washington Prank: Kesepakatan Semu Ekonomi AS-Indonesia

Sebarkan artikel ini
Donald Trump dan Prabowo Subianto
Donald Trump dan Prabowo Subianto

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa

Presiden Prabowo Subianto belum genap seratus hari menjabat ketika ia menandatangani serangkaian kesepakatan ekonomi strategis dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Example 300x600

Dalam pidato resmi, ia menyebut langkah ini sebagai “terobosan bersejarah untuk ekonomi nasional”. Tetapi seperti kebanyakan janji emas yang digantung tinggi di langit diplomasi, kita perlu bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari semua ini?

Dari pembangunan infrastruktur, ekspor mineral strategis, kerja sama pertahanan, hingga proyek besar Ibu Kota Nusantara—semuanya dimasukkan dalam satu paket kerja sama yang disebut “kemitraan strategis baru Indonesia-AS.”

Satu nama yang muncul berulang: perusahaan-perusahaan besar Amerika. Tesla, Apple, Bechtel, Microsoft, dan sederet nama lain yang telah lama mengincar pasar dan sumber daya Indonesia.

Pemerintah memuji diri sendiri karena berhasil menggaet investasi jumbo. Tapi di balik angka triliunan rupiah yang diumumkan di ruang-ruang jumpa pers itu, kita tidak melihat satu pun syarat yang memaksa perusahaan-perusahaan asing itu untuk melakukan transfer teknologi, menjamin keterlibatan pelaku lokal, atau memberikan porsi adil dari nilai tambah yang dihasilkan.

Sektor nikel dan litium adalah contoh paling terang. Perusahaan Amerika diberi kemudahan fiskal, bebas pajak selama hampir dua dekade, jaminan kestabilan regulasi, bahkan hak untuk menyelesaikan sengketa di forum arbitrase internasional.

Apa imbal baliknya? Pekerjaan terbatas, dominasi teknologi asing, dan degradasi lingkungan yang selama ini sudah dirasakan masyarakat di Morowali dan Halmahera.

Dalam teori hubungan internasional, ini disebut “ketimpangan struktural.” Negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak punya posisi tawar kuat dalam sistem ekonomi global.

Tapi yang menyedihkan adalah ketika pemerintah kita sendiri yang memilih menyerahkan kedaulatan demi janji pertumbuhan ekonomi cepat.

Lebih dari sekadar kesalahan strategi, ini adalah pengkhianatan terhadap cita-cita berdikari yang dulu lantang digaungkan oleh Presiden Prabowo dalam kampanye.

Ia mengutuk dominasi asing. Ia menyebut ekonomi kerakyatan sebagai fondasi. Namun, begitu duduk di kursi kekuasaan, ia justru membuka pintu lebar-lebar untuk investor global—tanpa pagar, tanpa wasit.

Kita paham bahwa dalam sistem global saat ini, kerja sama dengan negara besar seperti Amerika Serikat tidak bisa dihindari. Tetapi kerja sama tidak berarti tunduk.

Tidak berarti kehilangan kendali atas sumber daya, atas buruh, atas lahan, atas masa depan. Sayangnya, kesepakatan ini lebih banyak mengandung aroma ketundukan dibanding kemitraan sejajar.

Banyak yang membandingkan ini dengan skema kerjasama China dalam Belt and Road Initiative (BRI). Tapi apakah kita sedang berpindah dari ketergantungan terhadap Timur ke ketergantungan terhadap Barat? Jika jawabannya ya, maka ini bukan lompatan. Ini hanya rotasi dalam sirkuit dominasi global.

Secara geopolitik, Amerika Serikat sedang menghadapi tekanan ekonomi dari Tiongkok. Dominasi China dalam pasokan global untuk logam tanah jarang, baterai EV, dan energi hijau membuat AS tergesa-gesa mencari alternatif.

Indonesia—dengan kekayaan sumber daya alamnya—adalah sasaran empuk. Kesepakatan ini bukan tentang kemajuan Indonesia, tapi tentang strategi containment terhadap pengaruh China di Asia Tenggara.

Joseph Nye dalam teori “soft power” pernah menulis bahwa dominasi global tidak harus ditunjukkan lewat militer, tetapi lewat ekonomi, budaya, dan teknologi.

Dalam konteks ini, AS menggunakan investasi sebagai alat ekspansi pengaruh. Dan, seperti biasa, negara dunia ketiga seperti Indonesia menjadi korbannya.

Lebih jauh, Ha-Joon Chang, ekonom dari Cambridge, dalam bukunya Kicking Away the Ladder, menjelaskan bahwa negara-negara maju kerap memaksakan standar ekonomi yang sama kepada negara berkembang, padahal mereka sendiri dahulu membangun industrinya dengan proteksionisme.

Saat Indonesia diberi iming-iming pasar ekspor, yang sesungguhnya terjadi adalah eksploitasi struktur produksi kita—sementara struktur nilai global tetap dikuasai negara-negara kaya.

Dalam dokumen perjanjian kerja sama ekonomi bilateral tersebut, terdapat klausul yang menyatakan bahwa “resolusi sengketa akan dilakukan melalui arbitrase internasional yang ditunjuk bersama.” Sepintas terlihat adil. Tapi coba telaah: sistem arbitrase internasional selama ini sangat berpihak kepada investor.

Indonesia pernah dikalahkan oleh Churchill Mining dalam kasus pertambangan di Kalimantan Timur pada 2016. Negara berkembang sering kalah karena sistem peradilannya disandarkan pada logika neoliberal: kepentingan investor adalah yang utama.

Di sisi lain, Amerika Serikat tak pernah tunduk pada sistem internasional saat itu merugikan kepentingannya. Contoh paling terang adalah sikap AS terhadap WTO dan pengabaian atas keputusan arbitrase ketika negara berkembang menang.

Lalu bagaimana nasib Indonesia jika perjanjian ini memicu konflik? Siapa yang akan berpihak pada rakyat?

Persoalan mendesak kini adalah transparansi. Publik tidak tahu isi perjanjian secara rinci. DPR pun tampak bungkam, bahkan seperti ikut menikmati manisnya gula-gula diplomasi.

Lembaga pengawas independen, akademisi, organisasi masyarakat sipil—semuanya perlu angkat suara. Demokrasi tidak pernah berarti apa-apa jika rakyat dibisukan dalam urusan-urusan besar seperti ini.

Pemerintah harus membuka semua dokumen. Harus menjelaskan bagaimana rakyat akan diuntungkan. Harus menjawab mengapa keputusan-keputusan besar ini diambil tanpa partisipasi rakyat.

Dalam sejarah hubungan Indonesia-Amerika, kita pernah berada di titik-titik subordinasi. Kita juga pernah menunjukkan resistensi. Di era ini, kita harus memilih: menjadi mitra yang setara, atau kembali menjadi pemasok bahan mentah dalam peta ekonomi dunia.

Janji emas kadang hanya ilusi. Dan dalam kesepakatan ekonomi Prabowo–Trump ini, ilusi itu tampaknya terlalu mahal untuk dibayar dengan masa depan negeri ini.

Aksi warga Pati di alun-alun
Catatan

Oleh: Ocky Anugrah Mahesa Pati mungkin saja menjadi…